Senin, 14 Januari 2013

Imam Syafi'i


“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
A.          Kelahiran dan kehidupan Imam Syafi’i

1.      Kelahiran. 
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

2.      Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf. Ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:

“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).


3. Masa Belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

a.      Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.  

b.      Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.  

c.       Belajar di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

d.      Belajar di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.  

e.       Belajar di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.  

B.           Karya-karya

 1.      Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”  

2.      Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”  

3.      Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.  

4.      Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”  

C.          Guru dan Murid-muridnya
  Guru-guru beliau : Al-Hafiz berkata, ”Imam Asy-Syafi’i berguru kepada muslim bin khalid Az-Zanji, Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Ad-Darawardi, Abdul Wahab Ats-Tsaqafi, dan banyak lagi yang lainnya.
Murid-murid beliau : Adalah Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi, Ibrahim bin Al-mundzir Al-Hizami, Imam Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya..  

D.          Sakit dan Meninggalnya Beliau
  Dia menderita  penyakit yang kronis, sampai sampai darahnya mengalir ketika dia sedang   menaiki  kenderaannya.  Aliran  darah  itu  berceceran  sampai memenuhi  celana kenderaan dan telapak kakinya .

  Ar-Rabi’  bin  Sulaiman  berkata,  ”Imam  Asy-Syafi’i meninggal  pada malam  jum’at setelah maghrib. Pada waktu  itu aku berada disampingnya. Jasadnya di makamkan pada hari jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan rajab. Ketika kami pulang dari mengiringi jenazahnya kami melihat hilal bulan sya’ban tahun 204 Hijriyah.  

E.           Wasiat Beliau
  Sesunggunya beliau berwasiat kepada dirinya  sendiri dan orang  yang mendengar wasiatnya  ini untuk  tetap menghalalkan sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan  dihalalkan  oleh  Nabi-Nya,  dan  mengharamkan  sesuatu  yang  diharamkan  dalam sunnah utusan-Nya. 

Janganlah  melampaui  batas-batas  ketentuan  yang  dihalkan  maupun  yang diharamkan  tersebut  dengan  hal  hal  lain.  Sesungguhnya  orang  orang  yang melampaui batas batas ketentuan tersebut berarti meninggalkan kewajiban yang ditetapkan Allah.  

F.            Sanjungan Ahmad bin Hanbal
Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu. Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu. 
Ketika Imam Syafi’i telah berada di rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin Hanbal. 
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu. 
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i. 
Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.” 
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW digelar di hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.” 
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.” 
Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.” 
Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.” 
Abdullah, putranya lantas bertanya: “wahai ayahku, seperti apa sih Syafi’i, sehingga ayah selalu erdoa untuknya?”
Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “wahai anakku, Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi dunia dan seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah anakku, betapa pentingnya dua hal itu.”
Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni berkata: “Aku berada di sisi Ahmad bin Hanbal dan beliau selalu menyebut Imam Syafi’i. Aku selalu melihat beliau mengagungkan Imam Syafi’i.”  

G.          HIKMAH

1.         Ibadah, Kewara’an dan Kezuhudannya
  Bahr bin Nashr berkata, ”di masa Imam Asy-Syafi’i, aku belum pernah melihat dan
mendengar ada orang yang bertaqwa dan wira’i melebi Imam Asy-Syafi’i. Begitu juga aku belum pernah mendengarkan ada orang yang melantunkan Al-Qur’an dengan suara yang  lebih bagus darinya.”
Al-Husain  Al  Karabisi  berkata,  ”Aku  bermalam  bersama  Asy  Syafi’i  selama delapan puluh malam,  dia  selalu  sholat  sekitar  sepertiga malam. Dalam  sholatnya,  aku  juga tidak pernah melihatnya membaca Al-Qur’an kurang dari delapan puluh ayat, kalau pun lebih tidak lebih dari seratus ayat, ketika membaca ayat yang berisi rahmat, maka ia selalu  berdoa  untuk  dirinya  dan  orang mukmin  semuanya.  Dan  ketika membaca  ayat yang berisi adzab, maka  ia selalu memohon perlindungan dari Allah untuk dirinya dan orang mukmin semuanya. Kalau aku perhatikan, maka seolah olah rasa takut dan penuh harap berkumpul dan bersatu menjadi satu dalam dirinya.

2.         Kedermawanan
  Ibnu Abdil Hakam mengatakan bahwa  Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling dermawan  terhadap  sesuatu  yang  ia miliki.  Ketika  ia  lewat  di  tempat  kami  dan  tidak melihat diriku maka ia meninggalkan pesan agar aku datang kerumahnya. Oleh karena itu aku sering makan siang dirumahnya. 
Ketika  aku  duduk  bersamanya  untuk  makan  siang,  maka  ia  menyuruh  budak perempuannya agar memasak makanan untuk kami. Lalu ia tetap setia menunggu di meja makan  hingga  kami  selesai  dari  makan.Dari  Ar-Rabi’  bin  sulaiman,  ia  berkata  ”ketika Imam  Asy-Syafi’i  sedang  meniki  keledai  melewati  pasar,  maka  tanpa  sadar  cemeti ditangannya  jatuh  mengenai  salah  seorang  tukang  sepatu,  sehingga  ia  pun  turun mengambil cemeti dan mengusap orang tersebut. Kemudian Imam Asy-Syafi’i  berkata Ar-Rabi’,  ”berikan  uang  Dinar  yang  ada  padamu  kepadanya,”  Ar-Rabi’  berkat  ”Aku  tidak tahu, enam atau sembilan dinar yang aku berikan kepada tukang sepatu tersebut.

3.         Keteguhan Mengikuti Sunnah dan Celaannya Terhadap Ahli Bid’ah
  Dari  Abu  Ja’far  At-Tirmidzi,  ia  mengatakan,  ”ketika  aku  ingin  menulis  kitab tentang pemikiran,tiba  tiba dalam  tidur  aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Aku bertanya kepada beliau, ya Rasulullah,  apakah  aku perlu menulis pemikiran  Imam Asy-Syafi’i  ?  Maka  beliau  bersabda,  ”sesungguhnya  itu  bukan  pemikiran,  Akan  tetapi,  itu adalah bantahan terhadap orang orang yang menentang sunnah-sunnahku.
Ketika Seseorang bertanya, ”Wahai Abu Abdillah, apakah kami boleh mengamalkan Hadist  dari  Rasulullah  itu  shahih  dan  aku  tidak menggunakannya, maka  aku  bersaksi kepada kalian bahwa akalku telah hilang.  

4.         Kepandaiannya Berkarya dan karya-karyanya membawa manfaat
  Imam Asy-Syafi’i adalah orang pertama kali yang berkarya dalam bidang Ushul Al-Fiqh  dan Ahkam Al-Qur’an.  Para  ulama  dan  cendekia  terkemuka  pada mengkaji  karya-karya Imam Asy-Syafi’i dan mengambil manfaat darinya.
Imam Asy-Syafi’i telah menulis kitab Ar-Risalah. Padahal pada saat  itu  Imam Asy-Syafi’i masih sangat muda. Dan masih banyak lagi karya-karyanya yang lain.

Dan beliau juga pandai dalam bersyair dan berkata mutiara, seperti:
-Ilmu bukanlah sesuatu yang dihafal,tetapi ilmu adalah sesuatu yang ada manfaatnya.
-Barangsiapa  membenarkan  ajaran  Allah,  maka  ia  akan  selamat.  Barangsiapa memperhatikan agamanya, maka ia akan selamat dari kehinaan.barangsiapa zuhud di dunia,  maka  hatinya  akan  ditenangkan  Allah  dengan  memperlihatkan  padanya balasan yang baik

  Dalam kesempatan  lain  Imam Asy-Syafi’i mengatakan,  ”Apabila hadist  itu adalah shahih maka ketahuilah bahwa sesungguhnya itu adalah mazhabku . Syafi’i, pernah berkata,”Seorang hamba melakukan semua jenis dosa selain syirik kepada  Allah  itu  masih  lebih  baik  daripada  hamba  yang  bemain-main  dengan  hawa nafsunya


 Demikian  yang  dapat  kami  paparkan  sedikit  tentang  Biografi  Imam  Asy-Syafi’i. Setelah mengetahuinya,  hati  ini  terasa  rindu  ingin  bersamanya menikmati  pemikirannya yang sempurna, pancaran kepadaiannya dan berkah kata-katanya.

Wallahu a’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar