Senin, 14 Januari 2013

Ibnu Taimiyah



Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqiyyudin Ahmad bin Abdilhalim bin Taymiyah.Ia berasal dari keluarga taqwa. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyah. Seorang Syeikh, hakim, khatib, alim  dan wara. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyah Al-Harrani, Syeikhul Islam, Ulama fiqih, ahli hadits, tafsir, Ilmu Ushul dan hafidz. Lahir di Harran, 10 Rabiul Awwal 661H pada zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam. Ketika berusia enam tahun, Taymiyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus.
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru. Nahwu dan Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu yang diperolehnya. Di usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari manusia utama. Dan satu hal ia dikaruniai Allah Ta'ala kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-qur'an.
Tak hanya itu, iapun mengimbangi ketamakannya menuntut ilmu dengan kebersihan hatinya. Ia sangat suka menghadiri majelis-majelis mudzakarah (dzikir). Pada usia tujuh belas tahun kepekaannya terhadap dunia ilmu mulai kentara. Dan umur 19, ia telah memberi fatwa.
Ibnu Taimiyah sangat menguasai rijalul hadis (perawi hadis) dan fununul hadis (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadis yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqih, ilmu ushul sambil mengomentari para filosof. Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang Syariah. Ibnul Warid menuturkan dalam Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul.
Al-Washiti mengemukakan: "Demi Allah, syeikh kalian (Ibnu Taimiyah) memiliki keagungan khuluqiyah, amaliyah, ilmiyah dan mampu menghadapi tantangan orang-orang yang menginjak-injak hak Allah dan kehormatan-Nya”.
Dalam perjalanan hidupnya, beliau juga terjun ke masyarakat menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Ia tak mengambil sikap uzlah melihat merajalelanya kemungkaran. Suatu saat, dalam perjalanannya ke Damaskus, disebuah warung yang biasa jadi tempat berkumpulnya para pandai besi, ia melihat orang bermain catur. Ia langsung mendatangi tempat itu untuk mengambil papan catur dan membalikkannya. Mereka yang tengah bermain catur hanya termangu dan diam.
Beliau juga pernah mengobrak-abrik tempat pemabukkan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu jumat, Ibnu Taimiyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal digunung Jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat perlakuan tentara tar-tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian menerangkan hakikat Islam pada mereka.
Tak hanya itu, beliau juga seorang mujahid yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Katanya: "Jihad kami dalam hal ini adalah seperti jihad Qazan, jabaliah, Jahmiyah, Ittihadiyah dan lain-lain. Perang ini adalah sebagian nikmat besar yang dikaruniakan Allah Ta'ala pada kita dan manusia. Namun kebanyakan manusia tak banyak mengetahuinya”.
Tahun 700H, Syam dikepung tentara tar-tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alquran ia bangkitkan keberanian membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantusan Sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati Sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
Pada Ramadhan 702H, beliau terjun sendiri ke medan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan tar-tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir tentara tar-tar. Syuquq dapat dikuasai.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tak hanya merambah bidang syar'i, tapi juga mengupas masalah politik dan pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah fi Naqdh Kalam As-Syi'ah wal Qadariyah (Jalan Sunnah Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan kalangan Syi'ah dan Qadariyah), As-Siyasah As-Syar'iyah (Sistem Politik Syariah), Kitab al-Ikhriyaratul  Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil Islam (Pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam)
Sebagai penganut aliran salaf, beliau hanya percaya pada syariat dan aqidah serta dalil-dalilnya yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta'ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika rasional yang asing bagi Islam, karena metode semacam ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi'in. Baik dalam masalah Ushuludin, fiqih, akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Alquran dan hadis yang mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya berdasarkan perkataan tabi'in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taimiyah, akal pikiran sangatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Alquran maupun hadis. Ia meletakkan akal pikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan Alquran, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadis. Akal pikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil Alquran.
Bagi beliau tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara aqal dan pendengaran (sam'i) maka harus didahulukan dalil qath'i, baik ia merupakan dalil qath'i maupun sam'i.
Pribadi Ibnu Taimiyah memiliki banyak sisi. Sebuah peran yang sering terlihat adalah kegiatannya menentang segala bid'ah, khurafat dan pandangan-pandangan yang menurutnya sesat. Tak heran jika ia banyak mendapat tantangan dari para ulama.
"Sesungguhnya saya lihat ahli-ahli bid'ah, orang-orang yang besar diombang-ambingkan hawa nafsu seperti kaum mufalsafah (ahli falsafah), Bathiniyah (pengikut kebatinan), Mulahadah (mereka yang keras menentang Allah) dan orang-orang yang menyatakan diri dengan wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan khaliq), Dahriyah (mereka yang menyatakan segalanya waktu yang menentukan), Qadhariyah (manusia berkehendak dan berkuasa atas segala kemauannya), Nashiriyah, Jamhiyah, Hulliyah, Muthilah, Mujassamah, Musyibihah, Rawandiyah, Kilabiyah, Salimiyah dan lain-lain yang terdiri atas orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan, dan mereka yang telah tertarik masuk kedalamnya penuh sesat. Sebagian besar mereka bermaksud melenyapkan syariat Muhammad yang suci, yang berada diatas segala agama.
Para pemuka aliran sesat tersebut menyebabkan manusia berada dalam keraguan tentang dasar-dasar agama mereka. Sedikit sekali saya mendengar mereka menggunakan Alquran dan hadits dengan sebenarnya. Mereka adalah orang-orang zindiq yang tak yakin dengan agama. Setelah saya melihat semua itu, jelaslah bagi saya bahwa wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menentang kebatilan serta melemahkan hujjah-hujjah mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam menyingkap keburukkan-keburukkannya dan membatalkan dalil-dalilnya”. Demikian diantara beberapa pendapatnya yang mendapat tantangan dari mereka yang merasa dipojokkan dan disalahkan.
Tahun 705H, kemampuan dan keampuhan Ibnu Taimiyah diuji. Para Qadhi berkumpul bersama Sultan di istana. Setelah melalui perdebatan yang sengit antara mereka, akhirnya jelah bahwa Ibnu Taimiyah memegang aqidah sunniyah salafiyah. Banyak diantara mereka menyadari akan kebenaran Ibnu Taimiyah.
Namun, upaya pendeskriditan terhadap pribadi Ibnu Taimiyah terus berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di Kairo beliau dituduh meresahkan masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Sang Qadhi yang telah terkena hasutan memutuskan Ibnu Taimiyah bersalah. Beliau diputuskan tinggal dalam penjara selama satu tahun beberapa bulan.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar ini Ibnu Taimiyah berkata, "Saya menunggu hal itu. Disana ada masalah dan kebaikkan banyak sekali”.
Kehidupan dalam penjara ia manfaatkan untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya tetap mengesankan kekuatan hujjah dan semangat serta pendapat beliau. Sikap itu malah mempersempit ruang gerak Ibnu Taimiyah. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728H, semua buku, kertas, tinta dan penanya dirampas. Perampasan itu merupakan hantaman berat bagi Ibnu Taimiyah. Setelah itu ia lebih banyak membaca ayat suci dan beribadah. Memperbanyak tahajjud hingga keyakinanya makin mantap.
Setelah menderita sakit selama dua puluh hari, beliau menghadap Rabbnya sesuai dengan cita-citanya: mati membela kebenaran dalam penjara. Hari itu, tanggal 20 Dzulqaidah 728H pasar-pasar di Damaskus sepi-sepi. Kehidupan berhenti sejenak. Para pemimpin, ulama dan fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil semuanya keluar rumah. Semua manusia turun kejalan mengantar jenazahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar