Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap
Taqiyyudin Ahmad bin Abdilhalim bin Taymiyah.Ia berasal dari keluarga
taqwa. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyah. Seorang Syeikh, hakim, khatib,
alim dan wara. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah
bin Taymiyah Al-Harrani, Syeikhul Islam, Ulama fiqih, ahli hadits,
tafsir, Ilmu Ushul dan hafidz. Lahir di Harran, 10 Rabiul Awwal 661H
pada zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam.
Ketika berusia enam tahun, Taymiyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus.
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru.
Nahwu dan Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu yang diperolehnya. Di
usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari manusia utama. Dan
satu hal ia dikaruniai Allah Ta'ala kemampuan mudah hafal dan sukar
lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-qur'an.
Tak hanya itu, iapun mengimbangi
ketamakannya menuntut ilmu dengan kebersihan hatinya. Ia sangat suka
menghadiri majelis-majelis mudzakarah (dzikir). Pada usia tujuh belas
tahun kepekaannya terhadap dunia ilmu mulai kentara. Dan umur 19, ia
telah memberi fatwa.
Ibnu Taimiyah sangat menguasai rijalul
hadis (perawi hadis) dan fununul hadis (macam-macam hadits) baik yang
lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadis yang termuat dalam
Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai
hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu
mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap malam ia
menulis tafsir, fiqih, ilmu ushul sambil mengomentari para filosof.
Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang
memuat berbagai pendapatnya dalam bidang Syariah. Ibnul Warid menuturkan
dalam Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus
judul.
Al-Washiti mengemukakan: "Demi Allah,
syeikh kalian (Ibnu Taimiyah) memiliki keagungan khuluqiyah, amaliyah,
ilmiyah dan mampu menghadapi tantangan orang-orang yang menginjak-injak
hak Allah dan kehormatan-Nya”.
Dalam perjalanan hidupnya, beliau juga
terjun ke masyarakat menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Ia tak
mengambil sikap uzlah melihat merajalelanya kemungkaran. Suatu saat,
dalam perjalanannya ke Damaskus, disebuah warung yang biasa jadi tempat
berkumpulnya para pandai besi, ia melihat orang bermain catur. Ia
langsung mendatangi tempat itu untuk mengambil papan catur dan
membalikkannya. Mereka yang tengah bermain catur hanya termangu dan
diam.
Beliau juga pernah mengobrak-abrik
tempat pemabukkan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu jumat,
Ibnu Taimiyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal digunung
Jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat
perlakuan tentara tar-tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau
kemudian menerangkan hakikat Islam pada mereka.
Tak hanya itu, beliau juga seorang
mujahid yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Katanya: "Jihad
kami dalam hal ini adalah seperti jihad Qazan, jabaliah, Jahmiyah,
Ittihadiyah dan lain-lain. Perang ini adalah sebagian nikmat besar yang
dikaruniakan Allah Ta'ala pada kita dan manusia. Namun kebanyakan
manusia tak banyak mengetahuinya”.
Tahun 700H, Syam dikepung tentara
tar-tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala
kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alquran ia bangkitkan
keberanian membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat
ia dipercaya untuk meminta bantusan Sultan di Kairo. Dengan argumentasi
yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati Sultan. Ia kerahkan
seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan
yang gemilang.
Pada Ramadhan 702H, beliau terjun
sendiri ke medan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan
tar-tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah
komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka
berhasil mengusir tentara tar-tar. Syuquq dapat dikuasai.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tak hanya
merambah bidang syar'i, tapi juga mengupas masalah politik dan
pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari
bukunya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah fi Naqdh Kalam As-Syi'ah wal
Qadariyah (Jalan Sunnah Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan
kalangan Syi'ah dan Qadariyah), As-Siyasah As-Syar'iyah (Sistem Politik
Syariah), Kitab al-Ikhriyaratul Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis
yang berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil Islam (Pengamat terhadap
kesusilaan masyarakat dalam Islam)
Sebagai penganut aliran salaf, beliau
hanya percaya pada syariat dan aqidah serta dalil-dalilnya yang
ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang
berasal dari Allah Ta'ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika
rasional yang asing bagi Islam, karena metode semacam ini tidak terdapat
pada masa sahabat maupun tabi'in. Baik dalam masalah Ushuludin, fiqih,
akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Alquran dan hadis yang
mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat
para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya
berdasarkan perkataan tabi'in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taimiyah, akal pikiran
sangatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Alquran maupun hadis. Ia
meletakkan akal pikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh
berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan
mentakwilkan Alquran, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh
kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadis. Akal pikiran hanyalah saksi
pembenar dan penjelas dalil-dalil Alquran.
Bagi beliau tak ada pertentangan antara
cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal
tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila
ada pertentangan antara aqal dan pendengaran (sam'i) maka harus
didahulukan dalil qath'i, baik ia merupakan dalil qath'i maupun sam'i.
Pribadi Ibnu Taimiyah memiliki banyak
sisi. Sebuah peran yang sering terlihat adalah kegiatannya menentang
segala bid'ah, khurafat dan pandangan-pandangan yang menurutnya sesat.
Tak heran jika ia banyak mendapat tantangan dari para ulama.
"Sesungguhnya saya lihat ahli-ahli
bid'ah, orang-orang yang besar diombang-ambingkan hawa nafsu seperti
kaum mufalsafah (ahli falsafah), Bathiniyah (pengikut kebatinan),
Mulahadah (mereka yang keras menentang Allah) dan orang-orang yang
menyatakan diri dengan wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan khaliq),
Dahriyah (mereka yang menyatakan segalanya waktu yang menentukan),
Qadhariyah (manusia berkehendak dan berkuasa atas segala kemauannya),
Nashiriyah, Jamhiyah, Hulliyah, Muthilah, Mujassamah, Musyibihah,
Rawandiyah, Kilabiyah, Salimiyah dan lain-lain yang terdiri atas
orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan, dan mereka yang telah
tertarik masuk kedalamnya penuh sesat. Sebagian besar mereka bermaksud
melenyapkan syariat Muhammad yang suci, yang berada diatas segala agama.
Para pemuka aliran sesat tersebut
menyebabkan manusia berada dalam keraguan tentang dasar-dasar agama
mereka. Sedikit sekali saya mendengar mereka menggunakan Alquran dan
hadits dengan sebenarnya. Mereka adalah orang-orang zindiq yang tak
yakin dengan agama. Setelah saya melihat semua itu, jelaslah bagi saya
bahwa wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menentang kebatilan serta
melemahkan hujjah-hujjah mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam
menyingkap keburukkan-keburukkannya dan membatalkan dalil-dalilnya”.
Demikian diantara beberapa pendapatnya yang mendapat tantangan dari
mereka yang merasa dipojokkan dan disalahkan.
Tahun 705H, kemampuan dan keampuhan Ibnu
Taimiyah diuji. Para Qadhi berkumpul bersama Sultan di istana. Setelah
melalui perdebatan yang sengit antara mereka, akhirnya jelah bahwa Ibnu
Taimiyah memegang aqidah sunniyah salafiyah. Banyak diantara mereka
menyadari akan kebenaran Ibnu Taimiyah.
Namun, upaya pendeskriditan terhadap
pribadi Ibnu Taimiyah terus berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di Kairo
beliau dituduh meresahkan masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang
kontroversial. Sang Qadhi yang telah terkena hasutan memutuskan Ibnu
Taimiyah bersalah. Beliau diputuskan tinggal dalam penjara selama satu
tahun beberapa bulan.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya
sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang
diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar
ini Ibnu Taimiyah berkata, "Saya menunggu hal itu. Disana ada masalah
dan kebaikkan banyak sekali”.
Kehidupan dalam penjara ia manfaatkan
untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya tetap mengesankan kekuatan
hujjah dan semangat serta pendapat beliau. Sikap itu malah mempersempit
ruang gerak Ibnu Taimiyah. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728H, semua buku,
kertas, tinta dan penanya dirampas. Perampasan itu merupakan hantaman
berat bagi Ibnu Taimiyah. Setelah itu ia lebih banyak membaca ayat suci
dan beribadah. Memperbanyak tahajjud hingga keyakinanya makin mantap.
Setelah menderita sakit selama dua puluh
hari, beliau menghadap Rabbnya sesuai dengan cita-citanya: mati membela
kebenaran dalam penjara. Hari itu, tanggal 20 Dzulqaidah 728H
pasar-pasar di Damaskus sepi-sepi. Kehidupan berhenti sejenak. Para
pemimpin, ulama dan fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak
kecil semuanya keluar rumah. Semua manusia turun kejalan mengantar
jenazahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar