“Kebaikan
ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain,
mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia
adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat
dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang
bermanfaat bagimu”.
A. Kelahiran dan kehidupan Imam Syafi’i
1. Kelahiran.
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di
Gaza,
Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di
Asqalan;
sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para
ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada
tahun ini wafat pula seorang ulama besar
Sunni yang bernama
Imam Abu Hanifah.
2. Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari
al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam
Bani Muththalib.
Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin
Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib
bin
Abdulmanaf bin
Qushay
bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik
bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan
Rasulullah di
Abdul-Manaf. Ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin
Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara
kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul
Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga
melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin
As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie
Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf,
yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan
Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
|
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani
Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan
jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam
Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).
|
|
3. Masa Belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan
dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek
moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i
cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al
Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang
pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.
a. Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh
kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia
mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab
dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih
yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud
bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin
Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin
Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol
dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
b. Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’
kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim
tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik,
yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan
sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah
menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya
tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah
ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya
kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik
menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan
kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada
kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’
Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas
dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam
Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda
ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di
Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin
Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di
majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits,
memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk
beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga
ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam
Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi
menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
c. Belajar di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan
bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang
didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan
tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak
mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri
Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
d. Belajar di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun
195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki
tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
e. Belajar di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin
Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad
bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis
madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun
200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat
sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
B. Karya-karya
1. Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar
Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi
madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak,
imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh
ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang
yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun
yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di
‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama
ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya
sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah
(kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah
lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan
perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
2. Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik
suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah,
perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang
melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad
mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”
3. Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab
lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur,
Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
4. Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab
yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al
Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan
dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah
perkataanku di belakang tembok,”
C. Guru dan Murid-muridnya
Guru-guru beliau :
Al-Hafiz berkata, ”Imam Asy-Syafi’i berguru kepada muslim bin khalid
Az-Zanji, Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad, Sa’id bin Salim
Al-Qaddah, Ad-Darawardi, Abdul Wahab Ats-Tsaqafi, dan banyak lagi yang
lainnya.
Murid-murid beliau : Adalah Sulaiman bin
Dawud Al-Hasyimi, Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi, Ibrahim
bin Al-mundzir Al-Hizami, Imam Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya..
D. Sakit dan Meninggalnya Beliau
Dia menderita penyakit yang kronis,
sampai sampai darahnya mengalir ketika dia sedang menaiki
kenderaannya. Aliran darah itu berceceran sampai memenuhi celana
kenderaan dan telapak kakinya .
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata,
”Imam Asy-Syafi’i meninggal pada malam jum’at setelah maghrib. Pada
waktu itu aku berada disampingnya. Jasadnya di makamkan pada hari
jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan rajab. Ketika kami pulang
dari mengiringi jenazahnya kami melihat hilal bulan sya’ban tahun 204
Hijriyah.
E. Wasiat Beliau
Sesunggunya beliau berwasiat kepada
dirinya sendiri dan orang yang mendengar wasiatnya ini untuk tetap
menghalalkan sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan
dihalalkan oleh Nabi-Nya, dan mengharamkan sesuatu yang
diharamkan dalam sunnah utusan-Nya.
Janganlah melampaui batas-batas
ketentuan yang dihalkan maupun yang diharamkan tersebut dengan
hal hal lain. Sesungguhnya orang orang yang melampaui batas batas
ketentuan tersebut berarti meninggalkan kewajiban yang ditetapkan Allah.
F. Sanjungan Ahmad bin Hanbal
Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu
bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i,
sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu.
Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di
rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal
lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu.
Ketika Imam Syafi’i telah berada di
rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan
banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri
Imam Ahmad bin Hanbal.
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin
Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah
disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan
tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu
subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih
dulu.
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad
bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam
Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad
yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu
kepada Imam Syafi’i.
Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad,
memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan
itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan
sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan
makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah
malam yang paling berkah bagiku.”
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di
atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW digelar di
hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang
bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah
yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau
lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.”
Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku
shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata
sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat
subuh tanpa berwudhu lagi.”
Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.”
Abdullah, putranya lantas bertanya: “wahai ayahku, seperti apa sih Syafi’i, sehingga ayah selalu erdoa untuknya?”
Imam Ahmad bin Hanbal menjawab:
“wahai anakku, Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi dunia dan seperti
kesehatan bagi tubuh. Lihatlah anakku, betapa pentingnya dua hal itu.”
Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni berkata: “Aku
berada di sisi Ahmad bin Hanbal dan beliau selalu menyebut Imam
Syafi’i. Aku selalu melihat beliau mengagungkan Imam Syafi’i.”
G. HIKMAH
1. Ibadah, Kewara’an dan Kezuhudannya
Bahr bin Nashr berkata, ”di masa Imam Asy-Syafi’i, aku belum pernah melihat dan
mendengar ada orang yang bertaqwa dan
wira’i melebi Imam Asy-Syafi’i. Begitu juga aku belum pernah
mendengarkan ada orang yang melantunkan Al-Qur’an dengan suara yang
lebih bagus darinya.”
Al-Husain Al Karabisi berkata, ”Aku
bermalam bersama Asy Syafi’i selama delapan puluh malam, dia
selalu sholat sekitar sepertiga malam. Dalam sholatnya, aku juga
tidak pernah melihatnya membaca Al-Qur’an kurang dari delapan puluh
ayat, kalau pun lebih tidak lebih dari seratus ayat, ketika membaca ayat
yang berisi rahmat, maka ia selalu berdoa untuk dirinya dan orang
mukmin semuanya. Dan ketika membaca ayat yang berisi adzab, maka ia
selalu memohon perlindungan dari Allah untuk dirinya dan orang mukmin
semuanya. Kalau aku perhatikan, maka seolah olah rasa takut dan penuh
harap berkumpul dan bersatu menjadi satu dalam dirinya.
2. Kedermawanan
Ibnu Abdil Hakam mengatakan bahwa
Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling dermawan terhadap sesuatu
yang ia miliki. Ketika ia lewat di tempat kami dan tidak
melihat diriku maka ia meninggalkan pesan agar aku datang kerumahnya.
Oleh karena itu aku sering makan siang dirumahnya.
Ketika aku duduk bersamanya untuk
makan siang, maka ia menyuruh budak perempuannya agar memasak
makanan untuk kami. Lalu ia tetap setia menunggu di meja makan hingga
kami selesai dari makan.Dari Ar-Rabi’ bin sulaiman, ia berkata
”ketika Imam Asy-Syafi’i sedang meniki keledai melewati pasar,
maka tanpa sadar cemeti ditangannya jatuh mengenai salah seorang
tukang sepatu, sehingga ia pun turun mengambil cemeti dan mengusap
orang tersebut. Kemudian Imam Asy-Syafi’i berkata Ar-Rabi’, ”berikan
uang Dinar yang ada padamu kepadanya,” Ar-Rabi’ berkat ”Aku
tidak tahu, enam atau sembilan dinar yang aku berikan kepada tukang
sepatu tersebut.
3. Keteguhan Mengikuti Sunnah dan Celaannya Terhadap Ahli Bid’ah
Dari Abu Ja’far At-Tirmidzi, ia
mengatakan, ”ketika aku ingin menulis kitab tentang pemikiran,tiba
tiba dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Aku bertanya
kepada beliau, ya Rasulullah, apakah aku perlu menulis pemikiran
Imam Asy-Syafi’i ? Maka beliau bersabda, ”sesungguhnya itu bukan
pemikiran, Akan tetapi, itu adalah bantahan terhadap orang orang
yang menentang sunnah-sunnahku.
Ketika Seseorang bertanya, ”Wahai Abu
Abdillah, apakah kami boleh mengamalkan Hadist dari Rasulullah itu
shahih dan aku tidak menggunakannya, maka aku bersaksi kepada
kalian bahwa akalku telah hilang.
4. Kepandaiannya Berkarya dan karya-karyanya membawa manfaat
Imam Asy-Syafi’i adalah orang pertama
kali yang berkarya dalam bidang Ushul Al-Fiqh dan Ahkam Al-Qur’an.
Para ulama dan cendekia terkemuka pada mengkaji karya-karya Imam
Asy-Syafi’i dan mengambil manfaat darinya.
Imam Asy-Syafi’i telah menulis kitab
Ar-Risalah. Padahal pada saat itu Imam Asy-Syafi’i masih sangat muda.
Dan masih banyak lagi karya-karyanya yang lain.
Dan beliau juga pandai dalam bersyair dan berkata mutiara, seperti:
-Ilmu bukanlah sesuatu yang dihafal,tetapi ilmu adalah sesuatu yang ada manfaatnya.
-Barangsiapa membenarkan ajaran
Allah, maka ia akan selamat. Barangsiapa memperhatikan agamanya,
maka ia akan selamat dari kehinaan.barangsiapa zuhud di dunia, maka
hatinya akan ditenangkan Allah dengan memperlihatkan padanya
balasan yang baik
Dalam kesempatan lain Imam
Asy-Syafi’i mengatakan, ”Apabila hadist itu adalah shahih maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya itu adalah mazhabku . Syafi’i, pernah
berkata,”Seorang hamba melakukan semua jenis dosa selain syirik kepada
Allah itu masih lebih baik daripada hamba yang bemain-main
dengan hawa nafsunya
Demikian yang dapat kami paparkan
sedikit tentang Biografi Imam Asy-Syafi’i. Setelah mengetahuinya,
hati ini terasa rindu ingin bersamanya menikmati pemikirannya yang
sempurna, pancaran kepadaiannya dan berkah kata-katanya.
Wallahu a’lam bishowab.